Sokarno dan Sukarmini, Sejarah yang terlupakan
DARI TULISAN *ANDI SETIONO MANGOENPRASODJO*
*SUKARNO & SUKARMINI: SEJARAH YANG TAK TERCERITAKAN I*
*_________________*
Tanggal 6 Juni adalah hari lahir Sukarno, jika dihitung sejak ia lahir pada tahun 1901, maka hari ini adalah ulang tahun-nya ke 122. Nyaris semua hal tentang sosok ini telah dituliskan, nyaris tak ada habis2-nya. Selalu memberikan perspektif baru, bila diceritakan dari sudut yang berbeda. Baik peristiwa, sosok, maupun fenomena. Selalu ada sisi relevan kekinian yang sulit dipungkiri. Menguatkan kredo etika subsistensi dan adaptasi paling penting di hari ini untuk "stay relevant".
Belakangan muncul tokoh2 publik baru dunia yang menyeret2 nama besarnya. Russia, negara yang menjadi protagonis di bawah Vladimir Putin. Konon sosoknya bisa sedemikian "legendaris dan kharismatis", karena dianggap meniru sosok Sukarno yang sangat tegas dalam sikapnya yang anti-imperialisme. Putin dianggap pembaca nyaris semua pemikiran Sukarno di masa lalu, dan diaplikasikannya di hari ini. Agresi Russia ke Ukraina adalah "gaya Sukarno". Ini mengulang dulu peristiwa sukses Trikora saat membebaskan Papua, namun juga cerita gagal Dwikora untuk membebaskan Malaya.
PBB bahkan menetapkan pidato Bung Karno di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1960 sebagai Memory of the World (MoW) oleh UNESCO. Penetapan tersebut dilakukan dalam sidang pleno oleh Executive Board UNESCO pada 10-24 Mei 2023. Dalam pidato itu, ia mencetuskan manifesto intelektual, politik dan ideologi yang bersifat internasional bahwa dunia harus dibangun kembali. Dulu ditandai oleh kemerdekaan negara Asia-Afrika, sebagai perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme.
Hari ini, apakah itu ditandai dengan Koalisi BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Africa). yang menantang dominasi Barat (Baca: Amerika Serikat) sebagai apa yang disebut the hegemonic single super-power. Bisa jadi iya, bisa jadi malah cuma upaya pergantian peran saja. Sisi absurdnya, Indonesia sebagai salah satu pelopor Gerakan Non-Blok tak bersedia terlibat, walau jelas2 diundang untuk bergabung. Di sinilah, lucunya PDI-P yang mengaku2 sebagai pewaris tunggal ideologi Sukarno. Partai absurd yang konsistennya pada sikap inkonsistensi. ????
Lepas dari hal di atas, kali ini saya ingin bercerita tentang Sukarmini, kakak kandung Sukarno. Sosok yang bagi saya pengaruhnya luar biasa besar sepanjang hidup pada tokoh besar ini. Sayangnya, ia tak pernah sungguh2 mendapat tempat yang layak dalam sejarah Indonesia modern. Ia satu2nya manusia yang mendampingi sejak lahir, bahkan menunggui Sukarno ketika ajalnya menjemput. Hingga saat keputusan dimana memakamnya.
Sebagimana kita tahu, bukan kebetulan kalau Sukarno lahir dari "pasangan ideal", sebuah perkawinan antar etnis, antar agama, antar budaya: Jawa dan Bali. Bukan sepenuh2nya berbeda, karena Bali adalah Jawa di masa lalu, tapi juga Jawa adalah Bali masa depan. Kalau salah, maafkeun, ini hanya hiperbola saking cintanya saya pada dua budaya ini. Sukarmini lahir di Bali pada 13 Maret 1899, saat ayahnya R. Soekeni Sosrodihardjo bertugas sebagai guru pendatang dari Jawa Timuri dan lalu menikahi Nyoman Rai Srimben gadis Bali yang cantik dan pandai menari.
Dua tahun kemudian, pasangan ini pindah ke Surabaya dan disinilah lahir putra keduanya. Sekaligus meluruskan segala kesalahan yang terlanjur latah, menyebut Blitar adalah kota kelahiran Sukarno. Blitar lebih tepat adalah rumah terakhir keluarga besar ini, dan di sinilah keluarga besar ini dimakamkan. Anak laki2 ini semula dinamakan Kusno, dan sedemikian disayang oleh kakak tunggalnya. Walau sebagai Kusno kecil ia sangat menyenangkan, namun ia selalu sakit-sakitan dan konon tak tersembuhkan.
Dalam tradisi Jawa, hal tersebut karena kedua orang tuanya memiliki sepasang anak yang disebut "kedhana-kedhini". Bila hubungan mereka terlalu erat dan ada "sesuatu yang salah", biasanya salah satu akan "lara-laranen". Sakit yang bukan sakit, dan karena itu harus diruwat. Dalam ruwatan itu, biasanya terdapat sesuatu yang harus dirubah agar kembali pulih normal. Menyadari hal tersebut, kakek Sukarno, atau ayah R. Soekeni bernama R. Hardjodikromo yang tinggal di Tulung Agung minta agar Koesno tinggal bersamanya.
Terjadilah sejenis "drakor", karena Sukarmini tak mau dipisahkan dengan adik yang sangat disayanginya itu. Pun ibunya, sebenarnya memiliki keberatan yang sama. Namun, berdasarkan pertimbangan ayahnya, ia memutuskan "menitipkan sementara" anaknya itu ke rumah kakeknya. Di Tulung Agung inilah, kemudian diadakan upacara ruwatan dan lalu merubah nama Kusno menjadi Sukarno. Nama yang secara fonetik mirip dengan kakaknya Sukarmini.
Belakangan, nama Sukarmini disadari memiliki makna dan menyiratkan sifat seorang yang kuat sekaligus emosional. Ia percaya diri dan mengendalikan situasi. Orang ini gemar melakukan sesuatu yang bermakna dalam hidup dan sangat penyayang kepada orang-orang dekatnya. Tak heran, sepanjang hidup Sukarmini "nyaris" diabdikan untuk adik tersayangnya itu. Begini sedikit bukti2 sejarahnya.
Soekarmini semasa remaja memiliki sifat yang sesuai tradisi Jawa, kanca wingking dengan orientasi "dapur, pupur, kasur". Ia perempuan rumahan yang selalu membantu ibundanya dalam berbagai pekerjaan rumah dan suka membatik. Tak heran ia "enteng jodoh", Sukarmini menikah muda pada usia 19 tahun, sesuatu yang jamak pada masa itu walaupun mereka berasal dari kelas priyayi sekalipun. Suaminya bernama Poegoeh Reksoatmodjo dan kemudian mereka tinggal di Mojokerto.
Poegoeh sorang lulusan MTS (setingkat STM), dan lalu bekerja di Dinas Pengairan Belanda sampai tingkat cukup tinggi, sebagai Kepala Daerah Pengairan Karesidenan Surabaya, berkedudukan di Prambon Sidoarjo. Rasa sayang pasangan muda Poegoeh-Soekarmini pada Soekarno diwujudkan dengan membayar biaya sekolah. Poegoeh jugalah membantu memasukkan Soekarno ke HBS Surabaya, yaitu Sekolah Menengah Khusus untuk orang Belanda dan yang disamakan. Selama di HBS Soekarno kost di tempat HOS Tjokroaminoto, teman R. Soekeni Sosrodihardjo dan masih kerabat Poegoeh.
Pasangan ini juga yang membiaya hidup Soekarno sampai menempuh pendidikan tinggi di Bandung. Setiap kali pulang ke rumah orang tuanya di Blitar, Sukarno muda selalu menyempatkan diri mengunjungi kakaknya, yang kemudian membekalinya uang sangu yang lebih dari cukup untuk kembali ke Bandung, bahkan bersisa banyak untuk membiayai kuliahnya. Kelak, ketika Sukarno sudah bergiat dalam bidang politik, Sukarmini pulalah yang mengirimkan bantuan keuangan melalui Inggit Garnasih, baik di Bandung maupun saat dibuang ke Ende.
Mungkin karena terlalu "ngurus adiknya" itu, bahtera perkawinan Sukarmini dan Poegoeh harus kandas, justru ketika Poegoeh mencapai titik tertinggi karirnya. Setelah Indonesia merdeka, Poegoeh menjabat sebagai Residen di Karesidenan Besuki dengan ibu kota Bondowoso. Kesibukan Soekarmini yang terlalu banyak berkaitan dengan tugas mewakili orang tuanya R. Soekeni - Nyoman Rai Srimben untuk selalu berkomunikasi dengan Soekarno terutama ketika Soekarno dalam pengasingan. Menyita habis waktu untuk keluarga intinya.
Sesuatu yang bisa jadi "cermin kekinian dan bahkan abadi sepanjang masa": masa susah menyatukan, masa berlimpah memisahkan.
Setelah ayahnya R. Soekemi Sosrodihardjo meninggal dunia pada tahun 1945, Nyoman Rai Srimben tetap tinggal di Blitar bersama Soekarmini dan tidak bersedia pindah ke Istana Negara di Jakarta tempat tinggal putranya yang telah menjadi presiden Republik Indonesia pertama. Sebagai anak yang baik, Soekarno selalu minta doa restu ibundanya di Blitar terutama bila harus mengambil keputusan penting. Bila pulang ke Blitar, Soekarno selalu bersimpuh untuk “sungkem” pada ibundanya dan kemudian memeluk erat Soekarmini sang kakak.
Setelah ibunya, meninggal dunia di Blitar pada tanggal 12 September 1958. Hubungan kakak beradik Soekarmini dan Soekarno justru makin erat karena kedua kakak beradik ini sangat menyayangi satu sama lain. Ia adalah "segala"-nya bagi Sukarno, ia adalah sosok yang tidak ingin terpisahkan darinya, tapi justru selalu terpisah. Karena di luar tak ingin tinggal di Istana, ia memilih tetap mengurus rumah dan makam kedua orang tuanya di Blitar.
Saya menduga, kerinduan akan kasih sayang tulus ibunda dan juga kakaknya itu pula. Yang membuat Sukarno seolah "gila perempuan", sosok yang selalu haus belaian tangan wanita. Sembilan kali ia secara resmi menikah, dan tak terhitung banyak wanita cantik dalam dan luar negeri yang menjadi kekasih gelap atau sesaatnya. Barangkali ini sisi ambigu dari Sukarmini, di satu sisi sangat menyanyanginya, tapi sekaligus memberi ruang luas dan mengerti akan keterbatasan Sukarno sebagai manusia biasa.
Ia memberi kasih sayang yang tulus, tapi bisa mengerti "kebutuhan lain" dari Sukarno. Ia bisa memisahkan antara yang immaterial dengan yang material. Antara yang tulus-suci dengan wadag-sesaat. Antara yang ditulis dengan huruf besar dengan sekedar huruf kecil. Sedemikian hormat Sukarno kepada kakaknya, sitiran kalimat yang paling mengena darinya adalah: Saya adalah Presiden Republik Indonesia, tapi bukan Presiden Keluarga saya.
Bagi Sukarno, Sukarmini adalah Presiden Sejati-nya ....
.
.
.
NB: Ketika Orde Baru berkuasa, dengan mengorbankan Sukarno yang dilecehkannya sebagai manusia paling berbahaya dan bagian terpenting "Orde Lama". Sukarno bukan saja menjadi tahanan rumah, namun lalu jatuh sakit sangat parah. Karena ia menyadari bahwa hilangnya kekuasaan tidak terlalu berlebihan sebenarnya, tapi ketakutan akah lenyapnya arah perjuangan bangsa ini menjadi sebuah hantu yang lebih nyata. Pada situasi kritis inilah, Sukarmini adalah pendampingnya yang paling setia. Bukan Ratna Sari Dewi atau Hartini sebagaimana yang selalu digembar-gemborkan itu.
Saya duga ia juga lah, aktor yang justru menghendaki dan memutuskan Sukarno untuk kemudian dibawa pulang ke Blitar dimakamkan berdampingan dengan ayah-bundanya dan dirinya kelak. Ini sekaligus menunjukkan "kekuasaan"-nya berani melawan wasiat Sukarno untuk dimakamkan di Batutulis, Bogor. Maupun menepis anggapan umum yang justru menyudutkan Suharto yang seolah "membuang" Sukarno ke Blitar, jauh dari Jakarta agar tidak menjadi "slilit politik". Khawatir makamnya dijadikan sebagai simbol dan sumber spirit perlawanan kepadanya.
Setelah bercerai dari Poegoeh, Sukarmini menikah dengan Wardoyo pada tahun 1943 dan lebih dikenal (atau membahasakan dirinya) sebagai Bu Wardoyo. Pertanyaannya, kenapa saat masih bersama suami pertamanya, ia tak menggunakan nama Bu Puguh. Mungkin, ia menyadari makna kata puguh adalah pasti. Padahal, dalam menemani perjuangan adiknya itu, yang pasti adalah ketidakpastiannya. Secara langsung maupun tidak, ia merasa selalu berada dalam gelombang perubahan yang sangat cepat, rumit, dan tak terduga.
Berbeda dengan makna Wardoyo, ini pelafalan dari bahasa Sanskrit atau Jawa Kuno dari "wardaya". Yang maknanya hati atau kebijaksanaan, sesuatu yang indept. Mendalam, berkorban, dan melayani. Sesuatu yang sangat cocok dengan karakter pribadinya. Dalam foto di bawah ini, Sukarmini seolah menunjukkan dirinya sebagai "Presiden" sesungguhnya. Ketika Sukarno pulang ke Blitar, lalu sungkem pada ibunya. Ia berada di tengah di antara keduanya, terlihat sangat sibuk mengatur ini-itu. Tak dapat dipungkiri bahwa ia tampak "sangat berkuasa".
Demikianlah, sejarah bangsa ini di balik Presiden Definitif, selalu ada Presiden Bayangan. Hal inilah satu-satunya yang abadi dalam sejarah Indonesia sejak masa lalu, hingga masa kini.
Copas *Iyyas Subiakto*
What's Your Reaction?