Sirene dan Rotator: Antara Gengsi, Kebutuhan, dan Aturan Hukum di Jalan Raya Indonesia

Suara "Tot-tot, Wuk-wuk" yang Mengundang Tanya Pernahkah Anda sedang santai berkendara, tiba-tiba dari belakang terdengar suara “tot-tot… wuk-wuk…” lengkap dengan cahaya biru atau merah berputar? Refleks, Anda menepi. Tapi kemudian muncul rasa heran: “Itu mobil siapa ya? Polisi? Ambulans? Atau… jangan-jangan mobil pribadi?”

Sep 22, 2025 - 17:12
 0  5
Sirene dan Rotator: Antara Gengsi, Kebutuhan, dan Aturan Hukum di Jalan Raya Indonesia

Fenomena sirene dan rotator di jalan raya memang sudah jadi pemandangan sehari-hari. Mulai dari kendaraan dinas resmi, ambulans, hingga mobil pribadi yang "sok penting", semua bisa kita temui. Masalahnya, tidak semua penggunaan itu sah secara hukum. Banyak pengendara yang justru menyalahi aturan undang-undang, membuat pengguna jalan lain bingung, bahkan bisa berakibat fatal.

Nah, artikel ini akan membongkar tuntas: siapa sebenarnya yang berhak menggunakan sirene dan rotator? Apa kata undang-undang? Apa risikonya kalau melanggar? Dan yang paling penting: bagaimana solusi agar jalan raya jadi lebih tertib, nyaman, dan manusiawi.

(Stay tuned sampai akhir, karena saya juga akan kasih tips bagaimana kita sebagai masyarakat bisa ikut mengawasi penggunaannya!)


Permasalahan di Jalan Raya: Sirene Jadi Simbol ‘Kelas Sosial’?

Di Indonesia, penggunaan rotator dan sirene kerap jadi isu sensitif. Sebagian orang menganggapnya simbol kekuasaan, sebagian lagi melihatnya sebagai kebutuhan darurat. Tapi mari kita jujur: tidak sedikit yang memanfaatkannya hanya untuk gaya, gengsi, atau privilege semu.

Contohnya:

  • Mobil pribadi dengan rotator biru, padahal bukan aparat.

  • Konvoi pejabat atau orang kaya yang minta prioritas jalan, seolah semua pengguna jalan lain tidak penting.

  • Ambulans gadungan, lengkap dengan sirene, tapi ujung-ujungnya untuk mengantar bos ke pesta.

Dampaknya?

  • Kebingungan di jalan: masyarakat tidak tahu harus menepi atau tidak.

  • Ketidakadilan: ada yang harus taat antrean macet, sementara “mobil istimewa” bisa melenggang.

  • Keselamatan terancam: salah ambil keputusan bisa sebabkan tabrakan.

Di sinilah peran aturan hukum menjadi krusial. Karena jalan raya bukan arena pamer status, tapi ruang publik yang harus dijaga bersama.


Apa Kata Undang-Undang Tentang Sirene dan Rotator?

Indonesia tidak main-main soal regulasi penggunaan lampu isyarat dan sirene. Semua sudah diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) serta beberapa peraturan turunannya. Mari kita bahas dengan bahasa santai.

1. Warna Rotator Punya Arti

Menurut UU LLAJ dan PP No. 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan, lampu isyarat atau rotator dibagi berdasarkan warna:

  • Biru → Polisi.
    Kendaraan Kepolisian Republik Indonesia berhak menggunakan lampu rotator berwarna biru.

  • Merah → Ambulans, Pemadam Kebakaran, dan sejenisnya.
    Kendaraan darurat yang membawa orang sakit, kecelakaan, atau bertugas memadamkan api.

  • Kuning → Kendaraan pengawasan atau pengawalan tertentu.
    Contohnya kendaraan derek, konvoi proyek, atau kendaraan yang butuh peringatan ekstra di jalan.

Artinya, kalau mobil pribadi Anda pasang rotator biru hanya demi gaya, jelas itu melanggar hukum.


2. Sirene: Hanya untuk Kendaraan Tertentu

UU LLAJ Pasal 59 menyebutkan, sirene hanya boleh dipasang dan digunakan pada kendaraan:

  1. Kendaraan petugas kepolisian,

  2. Kendaraan tahanan,

  3. Kendaraan pemadam kebakaran,

  4. Ambulans,

  5. Kendaraan pertolongan kecelakaan,

  6. Kendaraan instansi tertentu yang melakukan tugas mendesak sesuai ketentuan.

Jadi, suara “tot-tot, wuk-wuk” yang sering kita dengar itu seharusnya tidak sembarangan keluar dari mobil pribadi.


3. Prioritas Jalan

Menurut Pasal 134 UU LLAJ, kendaraan yang mendapat hak utama di jalan raya adalah:

  1. Kendaraan pemadam kebakaran,

  2. Ambulans yang mengangkut orang sakit,

  3. Kendaraan untuk memberi pertolongan pada kecelakaan,

  4. Kendaraan pimpinan lembaga negara,

  5. Kendaraan TNI/Polri saat tugas tertentu,

  6. Iring-iringan jenazah,

  7. Konvoi yang mendapat izin dari polisi.

Di luar daftar ini, kendaraan seharusnya tidak boleh meminta prioritas. Jadi kalau ada mobil pejabat atau orang kaya pakai rotator biru-merah cuma untuk "lancar jalan", jelas itu penyalahgunaan.


4. Sanksi Hukum

Pasal 287 ayat (4) UU LLAJ menyebutkan:
Pengemudi yang menggunakan lampu isyarat atau sirene tidak sesuai aturan, bisa dipidana dengan kurungan paling lama 1 bulan atau denda maksimal Rp250.000.

Mungkin terdengar ringan, tapi jangan lupa: ada juga sanksi tilang, penyitaan barang bukti, bahkan pencabutan izin kendaraan bila terbukti melanggar secara berulang.


Kenapa Banyak yang Melanggar?

Kalau aturan sudah jelas, kenapa masih banyak yang nekat? Ada beberapa alasan:

  1. Kurangnya Sosialisasi.
    Banyak masyarakat tidak tahu warna rotator punya arti khusus.

  2. Mentalitas Gengsi.
    Rotator dianggap "simbol kehormatan". Padahal, salah tempat.

  3. Penegakan Hukum Lemah.
    Polisi seringkali fokus pada pelanggaran kasat mata lain, sementara rotator ilegal kadang luput.

  4. Kultur Privilege.
    Ada anggapan bahwa “orang penting” selalu boleh dapat jalan prioritas.


Solusi: Saatnya Tertib Sirene dan Rotator

Agar jalan raya kembali tertib dan adil, perlu langkah bersama. Bukan hanya tugas polisi, tapi juga kesadaran masyarakat.

1. Penegakan Hukum yang Konsisten

Polisi harus lebih tegas menindak kendaraan dengan rotator dan sirene ilegal. Razia berkala dan sanksi nyata bisa memberi efek jera.

2. Edukasi Masyarakat

Sosialisasi lewat media sosial, sekolah, dan komunitas otomotif bisa membuat masyarakat lebih paham arti rotator dan siapa yang berhak memakainya.

3. Budaya Malu

Kita perlu membangun budaya malu. Menggunakan rotator ilegal seharusnya dianggap tindakan memalukan, bukan kebanggaan.

4. Peran Kita Sebagai Warga

Kalau melihat pelanggaran, kita bisa:

  • Melaporkannya ke polisi,

  • Mengingatkan secara santun,

  • Tidak memberi ruang toleransi pada tindakan arogan di jalan.


Kesimpulan: Jalan Raya Bukan Milik yang Paling Keras

Suara “tot-tot, wuk-wuk” seharusnya jadi tanda darurat, bukan tanda gengsi. Sirene dan rotator adalah alat keselamatan, bukan mainan. Aturan sudah jelas: hanya kendaraan tertentu yang berhak menggunakannya.

Kalau kita semua taat aturan, jalan raya akan lebih tertib, adil, dan aman. Jadi, mulai hari ini, mari kita ubah cara pandang:

  • Kalau bukan kendaraan darurat, jangan pasang rotator dan sirene.

  • Kalau melihat kendaraan darurat yang sah, beri jalan dengan ikhlas.

Karena sejatinya, keselamatan di jalan bukan tentang siapa yang paling berkuasa, tapi tentang siapa yang paling peduli.


Call to Action

Yuk, kita jadi bagian dari solusi. Bagikan artikel ini ke teman atau keluarga agar makin banyak yang paham aturan sirene dan rotator. Karena dengan kesadaran bersama, kita bisa ciptakan jalan raya yang lebih manusiawi.

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow